Sumatera Island
Sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki pertama kalinya di bumi Sumatera. Suara pesawat yang aku tumpangi semakin bergemuruh dan memekakkan telingaku. Semakin lama telingaku semakin tidak kuat menahan tekanan yang mendadak berubah. Wal hasil sakit ditelingaku semakin membuatku berteriak dan menggeleng-gelengkan kepala agar rasa sakitnya berkurang. Dari pinggir jendela ku amati pemandangan langit yang sangat indah. Ini juga pertama kalinya aku memandangi pemandangan langit itu karena ini pertama kalinya aku naik pesawat terbang. Lama aku memandangi keajaiban kuasa Tuhan yang ada di depan mataku. Sungguh luar biasa indah gundukan putih yang saling sambung menyambung dan membentuk sebuah pola gambar itu. Ada yang berbentuk binatang, gunung, juga berbentuk pulau-pulau di dunia.
Gundukan tipis lembut bagai kapas nan putih dan terang karena pancaran sinar matahari itu bergerak-gerak dan seolah berjalan beriringan dengan pesawat yang aku tumpangi. Bahkan seperti sedang berkompetisi lari untuk mencapai garis finish. Ku melihat ke bawah, dari atas nampak ujung-ujung pepohonan yang terbentang luas. “Itukah hutan Sumatera?”, tanyaku dalam hati. Masyaallah, hijau daunnya menyejukkan mata yang memandang. Selain itu terbentang panjang kelokan-kelokan sungai musi beserta anakannya yang sangat menkajubkan. Inikah sungai yang sering disebut-sebut di dalam buku IPS waktu aku di bangku sekolah dasar itu. Aku tak menyangka sama sekali kalau akan melihat sungai itu, bahkan melintas di atasnya.
Pramugari memberikan informasi bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, dan para penumpang pesawat diminta mengenakan sabuk pengaman. Dengan gagap aku mengecek sabuk pengaman yang masih menempel di pinggang dan mengikatku dengan kursi. Sudah terkunci dengan rapat. Sepanjang perjalanan aku tidak melepaskan ikatan sabuk pengaman, karena takut tidak bisa memasangnya kembali. Untuk memasangnya saja aku butuh bantuan dari teman yang ada di sebelahku.
Dari kejauhan ku dengar suara seorang anak yang berbicara dengan ibunya,
“Ma, mama kita udah sampe Ma”, teriakan anak kecil berambut ikal yang kira-kira kela II SD itu kepada Ibunya sambil menggoyang-goyangkan badan Ibunya.
Para penumpang mulai berdiri dan mengambil barang-barang mereka dari cabin. Aku menengok ke belakang kea rah ayahku yang sedari tadi terlihat memejamkan mata. Entah itu tertidur ataukah menikmati penerbangan sembari mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena memberinya kesempatan menaiki pesawat terbang. Kemudian aku memanggilnya,
“Pak, Bapak sampun dugi bandara”.
Ayahku kemudian berdiri dan mengambil tas juga kardus-kardus yang ada di dalam cabin.
“Wis teko to, nduk”, ayahku memastikan bertanya kepadaku kalau kita memang benar-benar sudah sampai di Sumatera.
“Sampun”.
Kami berempat, aku, Ayahku dan kedua orang temanku, Heni dan Rika beranjak meninggalkan pesawat dan menuju bagian dalam bandara. Nuansa katrok-ku pun kembali menghinggapi. Ku lihat sana-sini, aku merasa asing melihat benda-benda yang ada di dalam bandara. Beberapa lamanya kami berada di bandara dan menunggu rombongan dari Sekayu yang menjemput. Setengah jam lamanya kami menunggu dan akhirnya rombonganpun datang. Mereka datang berempat Andri, Dimas, Aziz dan Elitha
“Maaf, lis terlambat. Tadi ada sedikit urusan” Kata seorang temanku yang bernama Andri.
“Gak papa mas, baru aja kok. Oiya, ini ayahku”, aku memperkenalkan ayahku kepada teman-temanku yang telah lebih dahulu menginjakkan kaki di Sumatera. Ada satu orang yang bukan dari Jawa, tempat asalku yaitu Elitha. Dia anak Palembang asli lulusan UNSRI. Akupun memperkenalkan diri,
“Lilis”
“Eta”, jawab Elitha memperkenalkan nama panggilannya sehari-hari.
“Kita ke Sekayu naik apa?”, aku memulai pembicaraan
“Kita nanti naik travel mbak, sudah dipesenin sama Pak Kae”, jawab Eta.
“Maaf, Kalau Pak Kae itu siapa?”
“Pak Kaelani itu guru Bahasa Jepang, rumahnya sering kita pakai buat kumpul-kumpul bareng, deket sini kok”
“Ooo….”
“Nanti kita mampir ke rumah Pak Kaelani dulu mbak, anaknya dua namanya Mushuko sama Suci, lucu-lucu banget juga nyenengin”.
Begitulah Eta terus bercerita tentang keadaan yang telah mereka alami selama kurang lebih tiga bulan bersama. Akupun menyimaknya dengan seksama sesekali memberikan pertanyaan balik, dan dialog saat itu membuatku ingin cepat-cepat melihat seperti apakah sekolah baruku itu.
Tiga jam lamanya perjalanan dari bandara menuju Sekayu ku jalani. Ku lihat di luar gelap gulita, sekilas nampak pepohonan yang berjajar dipinggir jalan. Aku tanyakan kepada Elitha ternyata itu adalah pohon karet. Aku amati dalam-dalam pepohonan itu dan dalam hati berkata, “Jadi ini to pohon karet, ga kebayang aku dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri”. Sepanjang perjalanan Palembang – Sekayu tak banyak bangunan yang dapat dilihat seperti perjalanan dari Solo menuju Semarang, yang terlihat lebih banyak hutan-hutan karet, hutan-hutan sawit atau rumah-rumah penduduk yang berbentuk panggung. Exciting-ku muncul kembali memandangi rumah tradisional khas Sumatera Selatan itu. Ukurannya sekitar 8 x 10 meter, terdiri dari dua lantai, lantai 2 biasa digunakan sebagai rumah utama atau rumahnya sedangkan lantai satu biasanya tidak digunakan untuk apa-apa. Karena kebanyakan rumah penduduk dekat dengan sungai Musi, pada saat banjir biasanya lantai 1 rumah panggung akan terisi penuh oleh air bah. Dari situlah aku mengerti kenapa para penduduk sekitar membuat rumah dua lantai sedangkan lantai 1 dibiarkan kosong.
“Treeree…t, kita sampai di istana, he he he …”, Elitha memecahkan keheningan travel yang sedari tadi penumpanngnya sibuk dengan mimpi-mimpinya masing-masing. Dimas, Andri, Rika, Heni, Lydia, Aziz, ayahku juga aku akhirnya terbangun.
“Kita sudah sampai ya?, Aziz bertanya entah kepada siapa.
Keluar dari mobil akupun langsung mengucap, “Subhanallah….,” ku gelengkan kepala, “Ini ya sekolahnya?.”
“Gimana, bagus bukan?, kayak istana”. Eta menambahkan.
Aku masih menikmati ketakjubanku melihat sekolah yang paling megah sepanjang hidupku selama 24 tahun ini. Aku, Heni dan Rika saling berpandangan dan melemparkan senyum kearah berlawanan, kemudian kitapun tertawa kecil bahagia. Rika mendekatiku dan berbisik, “bagus banget.”
“Iya”, dengan mengangguk-anggukkan kepala aku menyetujui pendapat Rika.
“Mbak Lilis, tasnya ini ada yang kurang ga?”, tiba-tiba ada suara yang memecah kekaguman kami bertiga, masih Eta. Akupun mengecek barang bawaanku, tas, kardus dan plastik juga barang bawaan ayahku.
“Pak, barange sampun komplit dereng?”
“Wis ketoke nduk”, jawab ayahku sambil memegang kembali barang baaan kami.
Kami bersembilan memasuki halaman sekolah yang sepertinya masih dalam tahap pembangunan karena beberapa area masih ada yang becek dan terlihat disana-sini ada gundukan pasir.
“Gimana mbak kesannya memasuki sekolah ini”, Eta memulai pembicaraan lagi
“Ga nyangka aja Ta sekolahnya bakalan sebagus ini, aku kira seperti sekolah-sekolah lain yang ada di Jawa. Sekolah yang paling bagus di Jawa aja kayaknya ga ada yang bangunannya semegah ini. Ini tu keren banget”
“Hehehe…iya, ini tu keren banget. Eta juga baru pertama kali melihat sekolah sebagus dan sebesar ini kok mbak. Di Palembang aja juga biasa bangunannya. Nah sekarang kita dah sampai, yang sini kamar cowok yang sebelah sana kamar cewek. Ayah Mbak Lis nanti gabung sama yang cowok aja, masih banyak tempat tidur yang kosong kok”.
Eta menunjukkan letak kamar guru laki-laki dan guru perempuan yang berada di lantai yang sama dengan tetap melangkahkan kakinya, aku dan anggota perempuan yang lainpun mengikuti.
“Iya, makasih Ta”, aku menengok ke arah ayahku “Bapak mlebet kamar mriki”. Aku mendekati Ayahku dan menunjukkan kamar yang akan ditempatinya untuk menginap beberapa hari ke depan.
“Iyo, yowis aku mlebu sek yo nduk”
“Njih”
Kami rombongan perempuanpun melanjutkan perjalanan ke kamar cewek yag berjarak sekitar 25 meter dari kamar cowok tadi.
“Nah… sekarang kita sudah sampai” sambil memegang gagang pintu kemudian membukanya.
“Assalamualaikum……………”
Aku dan yang lainpun ikut mengucapkan salam, “Assalamualaikum……………”
“Waalaikumsalam…………….”, seluruh penghuni kamar menjawab dengan kompak.
“Mbak-mbak jangan kaget ya, kita tidurnya sekamar bertujuh disini. Tambah mbak Lilis, mbak Rika dan mbak Heni jadinya nanti bersepuluh. Kita seru kok disini, rame”
Aku campur aduk melihat fenomena ini, sekamar bersepuluh, sekamar berdua aja sering beda pendapat masalah kecil, sekarang bersepuluh terus bagaimana ganti bajunya. Okelah mungkin saja mereka ganti baju di kamar mandi, terus bagaimana dengan hal yang agak privacy, tidur misalnya, atau lagi pengen mengerjakan sesuatu sendiri. Akupun mulai membayangkan hal yang tidak nyaman. Percekcokkanlah, perbedaan pendapat, ataupun yang lainnya.
Beberapa lamanya kami saling memilih tempat tidur sebagai peraduan yang nyaman. Akupun memutuskan tempat tidur di samping Lydia yang tepat berada di bawah AC. Ini juga pertama kalinya aku tidur di kamar ber AC. Aku mengkhawatirkan keaadaanku sendiri, dalam hati berkata “bagaimana ini, kamar ini berAC padahal aku alergi dingin”. Sejak SMA aku terkena penyakit asma yang akan mudah kambuh kalau terkena udara kotor dan dingin. Aku mulai membangun sugesti bahwa tidak akan terjadi apa-apa. It’s gonna be fine. Aku mendapatkan persepsi bahwa sugesti adalah obat yang paling utama untuk menyembuhkan penyakit sering kali ku baca di majalah-majalah dan ku dengar dari temen-teman kuliahku dulu yang konon itu adalah nasehat dokter. Ditambah dengan kami bertiga resmi penghuni kamar itu sepuluh orang. Ada dua barisan kamar dalam ruang itu. Karena menghadap ke timur kamar tersebut terbagi dalam dua barisan yaitu barisan timur yang dimulai dari dekat pintu hingga mentok dinding sebanyak 4 bed dan barisan barat yang berada didepan barisan timur sebanyak 6 bed. Kalau diurutkan seperti daftar presensi, bed pertama deket pintu adalah Azi, guru bahasa Inggri asal Cirebon, sebelah selatannya Eta, guru Biologi dari Palembang, sebelahnya lagi Rika, guru kimia dari Solo, Suci guru Bahasa Inggris dari Ogan Komering. Selanjunya adalah barisan sebelah barat, yang persis berada di depan bednya Suci adalah Lydia dari Palembang, selanjutnya aku si bolang Solo, Heni Klaten, Aya Kebumen, Nila Cirebon, Tuti Klaten dan Shinta dari Kartasura.
0.000000
0.000000